3 Tahun di Bali Mengajarkan Saya Sedikit Tentang Mengapa Keramaian Pariwisata Selalu Berpusat di Selatan

Eunike K
6 min readDec 9, 2022

--

Seorang teman pernah bilang sama saya “Kamu itu blusukannya melebihi orang lokal, nggak semua wisatawan lokal non orang Bali bakal kaya gitu sampai bela-belain keliling Bali”

Akhirnya saya sadar dari situ, dengan melihat kepada beberapa hal yang terjadi pada saya selama 3 tahun terakhir, saya jadi berpikir, ya juga ya? Kenapa bisa begitu ya? Kenapa juga semua selalu terpusat di Selatan ya sampai semua orang ngomel-ngomel macet tapi ya dijabanin juga. Sedikit catatan, yang saya maksud Selatan adalah wilayah-wilayah seperti Uluwatu, Benoa, Kuta, Seminyak, Legian, Canggu, Denpasar, Sanur, Ubud ya paling jauh Nusa Penida.

Tak semua orang punya waktu liburan yang panjang

Mau 3 tahun di Bali pun, masih banyak sekali destinasi yang belum saya kunjungi walaupun orang berpikir saya sudah eksplor dari tingginya Gunung Agung sampai bawah laut di Tulamben dan Nusa Penida. Itu pun butuh waktu banyak, tentu saja terbayang kan mereka yang hanya punya waktu paling sedikit 3 hari dan paling lama 7 hari untuk berlibur. Pergi ke area yang jauh tentu akan memakan waktu liburannya. Mencari destinasi terdekat tentu saja saving cost dan tenaga.

Beberapa orang Indonesia sudah terbiasa dengan wisata alam

Air Terjun Nung-nung (foto: koleksi pribadi)

Ke Bali ya karena mau mengunjungi cafe dan hal-hal lain yang tentu saja tidak ada di provinsi tempat dia berada. Saya harus akui selama tinggal di sana, selain Jakarta, ya mostly cafe, fine dining di Bali memang kelasnya berbeda. Apalagi ditambah dengan ‘Bali vibes’, tentu saja ini menjadi alasan kenapa area Selatan yang padat dengan area fashion and lifestyle pasti lebih padat. Apalagi orang Indonesia, tiap daerah pasti punya laut, punya sawah, pepohonan hijau. Ini mungkin berbeda dengan turis asing yang mungkin tidak seberuntung kita tinggal di area tropis. Jadi memang tidak heran kalau kita menemukan lebih banyak orang Indonesia liburan dengan berdesakan di cafe-cafe hits di Bali ketimbang berwisata alam atau budaya (yang justru menurut pendapat pribadi saya adalah kekuatan Bali yang sebenarnya).

Budget adalah kunci

Danau Tamblingan, Buleleng (foto: koleksi pribadi)

Tak bisa dipungkiri, setiap orang Indonesia, walau denial, pasti penasaran dan pengen ke Bali karena efek media sosial, influencer atau ya memang karena provinsi ini mendunia karena pariwisatanya. Berbagai paket trip dari yang ekonomis sampai eksklusif leisure segala, semua tinggal kamu pilih. Dan percaya atau enggak, saya rasa tidak semua provinsi di Indonesia bisa menawarkan range harga beragam seperti yang ditawarkan Bali. Semakin jauh kamu jalan-jalan di Bali, biayanya tentu akan lebih mahal, semakin jauh juga berarti semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk stay. Semakin jauh, tentu aktivitas yang dilakukan pasti semakin banyak. Inilah mengapa daerah Selatan paling padat karena mudah dijangkau, ada taksi dan ojek online, buang BBM untuk kendaraan lepas kunci juga nggak mahal, buang biaya rental plus driver pun ga semahal mau ke ujung Bali Timur. Pilihan makanan di Selatan pun jauh lebih beragam, dari yang halal sampai yang enggak, semua ada. Mau makan dari harga Rp 5,000 sampai jutaan semua ada. Agak berbeda kalau kamu sudah ke area Bali yang lain, lebih murah sih tapi pilihan nggak banyak.

FOMO dan validasi dari social circle

Bukit Terunyan (foto: koleksi pribadi)

Manusia perlu yang namanya validasi, perlu yang namanya diterima oleh lingkaran sosial dan salah satu caranya mungkin dengan pergi berkunjung ke mana orang-orang dalam lingkarannya pergi. Hal ini mungkin untuk beberapa orang dianggap meningkatkan nilai-nya di antara anggota lingkaran sosial. Bali menawarkan tempat-tempat yang sampai-sampai di provinsi lain pun ikut ditiru. Bahkan jika berbicara soal design, kreativitas dalam hal ini misalnya cafe ya, referensi dari beberapa tempat di Indonesia (mungkin selain Jakarta), banyak yang datang dari Bali. Tentu ini nggak mengherankan juga karena banyak WNA yang membuka bisnis di sini dan membawa pengaruh dari negaranya atau negara yang pernah dikunjunginya ke tempat-tempat nongkrong di Bali. Sebagai yang udah sering jalan di Bali, area Selatan tentu saja yang paling update untuk soal seperti ini. Rasa-rasanya kalau kamu yang udah biasa main di Selatan terus sehari aja ke Singaraja, mungkin akan bosan dan kaget. Ya, kira-kira seperti itu deh.

Tak semua orang ke Bali karena ingin tahu budaya dan adatnya

Melasti di Pantai Kuta (foto : koleksi pribadi)

Jujur-jujuran aja, kalau berbicara wisatawan awam pasti ke Bali karena pantainya dan vibesnya di mana matahari bersinar terang dengan langit biru cerah. Mungkin saya subyektif ya, tapi ini pengamatan selewat aja sih. Dan memang nggak bisa dipaksakan juga karena saya paham tujuan orang datang ke Bali memang berlibur seperti orang kebanyakan. Tapi karena alasan nggak semua mau tahu budaya dan adat, makanya area Selatan ya padat. Paling mainstream ya udah nonton Kecak di Pura Luhur Uluwatu. Dan ini nggak salah juga, karena memang jujur informasi soal buday dan adat ini minim banget kalau kamu bukan tipe inisiatif nanya, atau kamu punya waktu lebih banyak. Saya pribadi jadi sedikit paham tentang beberapa hal menyangkut adat budaya masyarakat Bali dan Hindu Bali ya karena tinggal berdampingan dengan warga lokal setiap hari, upacara-upacara rutin terasa lebih dekat karena ya tiap hari terpapar. Dan banyak sekali upacara yang menurut saya ‘Bali banget’ malah sudah sedikit hilang di area padat turis di Selatan. Dan mungkin juga nggak tahu, karena kita orang Indonesia, terbiasa dari kecil terpapar adat istiadat daerah lain melalui pelajaran sekolah, mungkin kita nggak tertarik lagi. Sangat berbeda dengan turis asing yang memang secara kultur udah beda banget, apalagi kalo mereka bukan orang Asia.

Nggak banyak orang betah jalan jauh-jauh dalam road trip atau kapal

Selain terkait pada point punya waktu lebih untuk berlibur, nggak semua orang juga betah dengan road trip. Padahal tempat-tempat indah di Bali yang asri dan kental dengan adat budaya, kebanyakan harus dijangkau dengan perjalanan bermobil atau motor minimal ya 2 jam (ingat ya 2 jam di area luar Canggu itu udah lama banget lho, kalo di Canggu kan lama di macet dan stuck). Atau misalnya menyebrang ke Nusa Penida, nggak semua orang juga sehat-sehat saja mengarungi laut. Ada yang mabuk laut, ada yang mau turun kapal juga takut-takut (kan pelabuhan Nusa Penida belum selesai tuh, jadi naik dari Sanur kering, turun sana ya basah juga), ada yang nggak tahan panasnya Penida dan banyak hal lain terkait akses. Akses ini misalnya ada tempat yang bisa pake motor aja, ada yang jalan ke pantainya masih jalan berbatu dan kapur serta berbagai kondisi yang mungkin membuat orang malah lebih baik mendem di hotel atau leyeh-leyeh di beach club.

Labuan Amuk, Karangasem (foto: koleksi pribadi)

But, anyway, Bali selalu punya pilihan pariwisata yang custom sesuai keinginan kamu. Paling nggak saya menuliskan ini dengan niatan baik supaya kalau kamu liburan ke sini dan cuma isinya melihat kendaraan macet dan manusia di mana-mana, ketahuilah bahwa faktor-faktor di atas juga menjadi penyebabnya. Terlepas itu nanti ada pengaruh dari Dinas Pariwisata, terlepas ya memang investor demennya cuma di area ini aja, itu urusan nanti. Next time kalau mengalami macet atau jengah sumpek sama Selatan, jangan buru-buru bilang “Bali sekarang membosankan” ya. Bali akan selalu cantik, mungkin kamu yang perlu explore lebih banyak di luar zona nyaman orang kebanyakan:)

--

--

Eunike K

A lifelong learner by nature | Twitter: euniceapril/Instagram: @tarinaminusta