‘Bad Attitude’ at Work Will Get You Nowhere, Is That True?

Eunike K
6 min readOct 13, 2020

--

Photo by Christin Hume on Unsplash

Cukup dengan judul Bahasa Inggris, isinya Bahasa Indonesia saja ya.

Seperti biasa straight to the point karena gw orangnya malas basa-basi dan sepertinya orang juga malas baca kalimat-kalimat pemanis.

Cerita ini bisa dibilang pengalaman pribadi. Dengan employer yang mana, gw rasa kalian nggak perlu tahu. Dari pengalaman ini sebetulnya gw cukup banyak belajar untuk menahan idealisme dan menahan attitude yang mungkin untuk industri kita terkesan brengsek atau nggak sopan karena tak sesuai dengan norma-norma ketimuran (halah). Padahal sih waktu gw cerita ke teman-teman gw yang banyakan kerja di perusahaan yang cukup woles untuk mengutarakan pendapat dan ‘mendebat’ ide orang lain termasuk ide leadernya, hal yang gw lakukan nggak bisa masuk kategori bad attitude. Menurut dia tindakan gw nggak merugikan perusahaan tapi mungkin orang yang gw ajak ngomong aja baperan. Oh, here we go again!

Kurang lebih kronologinya seperti ini sampai akhirnya secara blak-blakan gw ditegur punya bad attitude.

Suatu hari di sebuah perusahan yang yah nggak usah gw sebutkan, gw diundang ke sebuah meeting. Meeting ini sebetulnya akan diadakan 1 hari sebelumnya dengan berbagai pihak internal yang diminta mendukung project ini, sebut saja Project X. Di dalam meeting invitation yang biasanya ada di Google Calendar pun gw lihat nama-nama yang memang seharusnya ada di project ini. Pikir gw oh aman, i’m not alone. Tiba-tiba keeseokan harinya, meeting dilakukan tapi dengan invitation yang berbeda. Nama-nama yang kemarin ada di sana kok hilang, menjadi hanya segelintir orang saja. Apakah ini project yang confidential atau gimana? Gw pribadi sih bukan orang yang merasa bangga ya kalo misalnya akhirnya cuma gw doang yang namanya ada di situ. Menurut gw suatu project harus diomongin secara terbuka apalagi project yang berkaitan dengan revenue dan memang dikerjakan banyak orang untuk mencapai targetnya. Orang lain mungkin berpikir “Wah, gw dapat privilege nih cuma tahu project ini sendiri” but not with me, gw mau semuanya teamwork dan nggak ada soal claim exclusive di suatu project.

Singkat cerita ketika gw masuk ke dalam ruangan, gw cukup kaget karena, hanya segelintir orang. Seseorang yang ya bisa dibilang leadernya project ini bilang bahwa project X hanya akan menjadi pegangan orang di dalam ruangan ini. Firasat gw langsung ga enak dong, apa-apaan sih. Bahkan ketika gw tahu projectnya pun, ampun deh, ini bukan project launching produk rahasia. Ini hanya project ‘berganti vendor’ yang di mana perusahaan tempat gw kerja ini berusaha untuk memenangkannya di periode waktu itu. So nothing new. Kita cuma diminta come up with fresh strategy dan tentunya sesuai dengan budget dan pastinya itu pitching.

Yang menjadi gw agak jengah adalah, gw yang bisa dibilang megang digital strategy tiba-tiba ya si produk ini ada sampai urusan yang menurut gw bukan kapasitas gw. Ya ya gw ngerti kita dituntut untuk palugada ketika kerja di sebuah startup digital. Tapi menurut gw, ketika gw ga punya expertise atau pengetahuan di sana, minimal i need to do some research, i need extra team to do this and i need more time. Turns out nggak ada tuh dari semua itu yang gw dapatkan. Meeting anggap saja hari Senin dengan insight yang sangat minim, dan presentasi harus dilakukan 2 hari setelahnya. Yup, ngerti, anak-anak agency akan berteriak bahwa 2 hari itu sudah surga dikasih waktu, tapi kalian juga setuju kan bahwa agency mengerti kualitas akan benar-benar memikirkan dengan matang untuk tiap strategi, bukan asal-asalan dan 2 hari adalah waktu yang kurang untuk sebuah strategi perusahaan, apalagi perusahaan ini bisa dibilang top company lah di Indonesia, bukan FMCG loh ya tapi more like oil and gas (nah baru deh lu kebayang!).

Intinya semua orang nengok ke gw dengan todongan “Kamis bisa present nggak?” Like WTF dude, you don’t even have proper information about this. And you guys take out everyone who supposed to be involved in this project and you don’t tell me the reason why. Di sinilah moment ‘bad attitude’ itu muncul. Gw sebetulnya di fase ini sudah agak capek sama si perusahaan ini yang menurut gw lama-lama jadi melenceng dari visi awal (halo, Eunike, stop menjadi idealis deh), jadi ya sudah gw hajar aja sekalian. Toh in this case, gue menjadi pihak yang ga dipedulikan suaranya karena cuan cuan cuan adalah yang utama tapi bukan kualitas.

Di meeting tersebut, sebetulnya gw hanya bersuara bahwa, No, gw gak bisa ngerjain ini kalau gw sendiri, bahkan gw butuh bantuan agency dan lainnya even only for the research part. Setelan muka gw udah ga enak dan gw ngomong udah gak lihat ke mata orang. Tapi gada satupun tindakan gw di sini yang menurut gw salah, bahkan gw ngomong baik-baik. Gw nengok ke salah satu orang yang masih gw anggap senior, baik dan waras di ujung meja yang gw kira bakal belain gw, turns out, nope, i’m alone, i’m on my own (kecewa ga sih lo ketika orang yang lo anggap panutan juga memalingkan muka dari lo di situasi begini, i feel like i’m being betrayed).

Gw rasa yang membuat orang-orang jengah adalah muka gw, tanpa orang sadari beginilah memang settingan gw. Intinya sih dari situ gw sorenya dipanggil dan di situ sama si leader perusahaan ini gw dibilang punya bad attitude dan hidup gw gak akan ke mana-mana. Oh, wow thanks for sharing your opinion. One thing for sure, gw tahu jelas kehidupan leader gw ini gimana (you know, that kind of person yang hidupnya jauh lebih ga bener dari gw tapi dia bilang orang lain lebih buruk dari dia hanya untuk menutupi cacatnya dia) and kalau lo tahu kejadian sebenarnya, yang mana ga bisa gw share gamblang di sini, lo pasti akan bertanya hal yang sama “Memang bad attitude di mananya, Ke?” Nah, itu gw juga bingung.

Berita baik tapi jahatnya, setelah beberapa bulan gw dapat kabar bahwa project itu ga dimenangkan oleh perusahaan tempat gw waktu itu. Ya iyalah, yang bikin strateginya akhirnya bukan gw. Haha…nggak deng becanda, justru gw senang karena gw ga involved sama sekali di sana. Sebuah project yang back and forth repotin semua orang, bahkan strategi juga berantakan dan ga detail, dari awal pun gw ngira si client ini emang cek ombak aja.

Kejadian ini sebenarnya membuka mata gw lebar-lebar bahwa ya begitulah dunia kerja, orang yang dulu mungkin lo anggap rekan inspiratif, ya lama-lama juga bisa jadi busuk. Seperti tattoo di tangan kanan gw “People change”, manusia tuh berubah, mungkin kalo yang ini entah karena duit, entah karena tekanan investor entah karena tauk lah apa, intinya mempertahankan kelangsungan perusahaan ga gitu juga sih apalagi ampe judge orang bilang hidupnya gak akan ke mana-mana karena bad attitude padahal at the very first place, yang salah duluan siapa woy.

I’m so glad i resigned from this company. Beberapa bulan setelahnya gw makin banyak mendengar kisah-kisah yang membuat gw bersyukur bahwa gw akhirnya bisa lepas dari belenggu tersebut. Cerita ini gw bagikan bukan untuk bikin image jelek dari suatu perusahaan. Bukan juga bilang bahwa bad attitude itu kadang ada benernya, tapi lebih ke arah membuka pikiran bahwa kadang label ‘bad attitude’ itu dikasih sama orang yang lebih berkuasa, karena dia kesel lo ga mendukung visi misi dan obsesi dia, jadi personal dan jadi baper. Semoga ya kita semua terhindar dari leader seperti ini dan dari kisah ini, pelajaran juga, kalau udah mulai diajak ke project nggak jelas, better tanyakan dulu dari awal atau nolak sekalian. Sulit sih karena toh kita orang bayaran perusahaan, tapi daripada keburu kecemplung. Last but not least, hal yang sudah common diomongin banyak orang, kalo lo awesome in doing one thing, kadang ga usah diperlihatkan banget, nanti orang ngeh terus semuanya dikira lo bisa, jadi runyam. Unless lo emang orangnya ambisius banget, ya go ahead, tapi kayaknya nggak deh buat gw.

--

--

Eunike K

A lifelong learner by nature | Twitter: euniceapril/Instagram: @tarinaminusta