Bali, Pelajaran Hidup, dan Rindu yang Tak Pernah Habis

Eunike K
6 min readJul 27, 2022

--

Kuta Beach — photo by Eunike

Semua yang membaca ini pasti menemukan akun saya melalui media sosial. Dan karena hal itu pula, pasti kamu semua sudah tahu bagaimana saya sering membagikan banyak tempat-tempat menarik di Bali selama 2,5 tahun terakhir melalui media sosial saya. Tidak hanya wisata alam, tapi juga cafe, restoran, kuliner lokal hingga bagaimana rasanya menjadi warga lokal di Denpasar Selatan.

Ya, semua berawal dari Maret 2020 saat pandemi COVID-19 melanda dunia dan bisa dibilang ini adalah ‘terjebak’ paling indah yang membuat saya merasa bersyukur walau di waktu yang sama tetap merasa sedih akan kondisi perekonomian dunia dan Indonesia terutama provinsi dan pulau yang saya cintai melebihi kampung halaman saya. Tidak perlu saya jelaskan panjang lebar lah ya.

Mungkin mereka yang membaca ini akan berpikir “Ah, klasik. Bali lagi healing lagi. Memangnya tidak bisa di provinsi lain? Kamu juga bisa bertahan di sana dengan pekerjaan dan gaji Jakarta-mu, Ke! Coba saja menikmati gaji UMK Bali apakah masih bisa kamu berpendapat yang sama?”

Beji Samuan Temple, Petang, Badung — photo by Eunike

Pointnya tidak di sana. Justru saya mendapatkan sesuatu yang bisa membuat saya melambat di sini. Kehidupan Jakarta untuk saya pasti berbeda dengan orang lain. Saya merasa terburu-buru dan diburu-buru. Tidak ada yang salah dengan terburu-buru karena toh uang untuk membiayai gaya hidup saya ada di sana dan semua harus didapatkan dengan cepat kalau tidak ya disergap orang lain. Tapi habit ini merusak hidup saya dari dalam dan mengakar. Jika mungkin ada juga yang berkata bahwa hidup saya yang harus diperbaiki maka saya pun membutuhkan tempat baru untuk setidaknya me-reset hidup saya, di mana pun itu, tak harus Bali. Tapi mungkin dalam konteks ini, saya merasa jiwa saya berjodoh dengan pulau yang cantik ini.

Beberapa waktu lalu saya terinspirasi dari seorang teman yang bilang untuk coba cek arti nama saya. Dari sana, selain saya tahu bahwa nama saya diambil dari Alkitab, ternyata Eunice adalah dewi kemenangan dari mitologi Yunani. Ayahnya bahkan adalah Nereus yang adalah ‘Old Man of The Sea’, dia adalah keluarga peri laut. Eunice digambarkan sebagai dewi kemenangan yang melompat dari ombak ke ombak.

Jujur saya terkejut karena ini mungkin hal yang tidak akan terpikirkan oleh saya jika hidup saya terus berderu cepat dan mungkin hal-hal seperti hanya akan saya tertawakan saja dan dianggap angin lalu. Tanpa saya sadari, sejak menetap di Bali, saya belajar untuk melawan ketakutan saya terhadap laut, terhadap air. Saya memiliki trauma terhadap laut dan saat ini, siapa yang mengira saya akan memegang lisensi diving untuk Advance Open Water, walau tidak lulus level 1 pun saya juga sempat mengambil freedive course. Melompat ke lautan atau sungai bukan lagi menjadi ketakutan untuk saya.

Drop Off Tulamben — Photo taken by Yansu Diving

Tidak hanya itu, jika melihat elemen dalam astrologi dan Sun saya berada di Taurus, elemen bumi yang satu ini sangat erat dengan alam. Mungkin selama ini, saya rasa, jiwa dan raga saya mencari ke mana dia harus bergerak dan menetap, hanya saja begitu banyak kendala yang menahan. Ada saja alasan: ada uang tak ada waktu dan sebaliknya, terlalu cinta pada pekerjaan sehingga merasa bahwa kita tidak bisa tergantikan lalu realita hidup hadir dan menendang kita dari hal yang kita cintai. Well, terkadang mungkin hal itu nggak buruk-buruk amat. Dengan pemahaman bahwa semua manusia akan tergantikan, ada pembelajaran baru untuk ikhlas dan menerima, malah karma baik itu hadir.

Lantas mengapa judul postingan ini seperti itu? Kalian percaya nggak sih bahwa semakin kenyamanan itu akan kalian dapatkan, termasuk kebahagiaan, maka akan begitu banyak ujian yang datang untuk melihat apakah kamu layak mendapatkan reward itu suatu hari nanti. Sebetulnya ini sih kata teman baik saya yang sungguh hidupnya bertransformasi dan berproses dengan segala ujian hidup yang membuat saya harus standing applause ke dia.

Sebelum Bali, ujian hidup pun ya terasa dengan mudah diatasi. Semua paling hanya berkutat di urusan karir, sedikit di percintaan, namun masih dalam level yang menurut saya bisa saya hadapi dengan sambil lalu dan kok kayaknya lulusnya mudah banget. Selama di Bali, semua kesenangan dalam hidup diimbangi dengan ujian yang membuat saya selalu ingin berteriak kencang “Kok gini-gini amat?!” Tapi semesta paham, saat dia memberikan sesuatu yang berat, dia paham bahwa elemen bumi yang ada dalam diri saya akan bisa menyembuhkan saya di pulau ini. Yang bikin bahagia bukan soal pergi ke cafe kekinian dan bertemu orang baru, tapi kesenangan bertemu dengan gunung, laut, menghirup bau matahari di siang hari yang murni bukan campuran polusi, merasakan angin dingin Bali di bulan Juli yang menusuk hingga ke tulang, menyentuh pasir yang memiliki berbagai tekstur dan semua ini dapat dilakukan setiap hari, jauh dari kebisingan kota dan terburu-burunya pemikiran seperti di kota besar.

View to Abang Mountain and Batur — drone shot by Eunike

Saya tidak pernah merasa se-nyaman ini sebagai anak rantau. Rumah yang berada di Sulawesi Utara akan tetap menjadi rumah fisik saya. Tapi jiwa dan hati akan selalu kembali ke Bali. Hal ini sangat terasa setiap kali akan terbang ke daerah lain, padahal maksudnya untuk berlibur, untuk sesuatu yang lebih menyenangkan pastinya, tapi selalu ada rasa sedih ketika pesawat take-off dari Bandara I Gusti Ngurah Rai. Begitupun ketika sang pilot berkata bahwa beberapa saat lagi akan mendarat di bandara cantik yang letaknya di pinggir laut ini, ada rasa lega dan bahagia membuncah, padahal pernah lho hanya 1 malam saja meninggalkan Bali, tapi rasanya seperti sudah berdekade pergi.

Ada yang bilang, Bali memilih siapa yang berjodoh untuk tinggal di pulau ini, jika memang tidak berjodoh maka ada aja nggak betahnya. Hal ini juga kerap kali terjadi entah dari teman atau cerita yang berseliweran di media sosial yang saya baca. Sedangkan hampir 3 tahun di sini, saya malah selalu merasa, semakin sering pulau indah ini menunjukkan keindahannya kepada saya. Saya selalu bilang kepada diri sendiri “Ah, rasanya sudah semua tempat di Bali saya jelajahi”, tapi setiap ada kalimat seperti itu, selalu ada saja titik-titik baru yang saya temukan. Seakan-akan pulau ini berkata “Untuk apa buru-buru pergi sih, kamu sudah jatuh cinta padaku, akan kuikat kau di sini agar tak pergi lagi, sudah, ini sudah rumahmu”

Dengan tulisan ini, saya berharap kalian yang membaca ini akan segera menemukan ‘rumah’ seperti saya menemukan tempat yang sekarang saya tempati. Mungkin tidak harus Bali, mungkin tempat kelahiran kalian sendiri, di mana kalian merasa terpanggil.

Maaf jika mungkin suka terkesan lebay setiap kali saya mengomentari sesuatu tentang Bali atau bagaimana saya menggambarkan kesenangan saya berada di sini. Maaf kalau mungkin suka oversharing dan lainnya, hanya berusaha berbagi kebahagiaan karena mungkin ini pertama kalinya saya merasa benar-benar hidup selama kurang lebih 34 tahun saya hidup (sekarang udah 36 tahun, tapi kan waktu pertama kali menetap lama di Bali sudah 2 tahun lalu).

Beji Samuan Temple — photo by Eunike

Semoga saya tetap bisa terus berbagai keindahan Pulau Dewata ini, ke depannya semoga bisa berkarya di sini dan memberikan kontribusi terbaik baik untuk manusia dan juga alam semesta.

Have a great day!

--

--

Eunike K

A lifelong learner by nature | Twitter: euniceapril/Instagram: @tarinaminusta