Kebutuhan Untuk Didengarkan di Era Rentan Kesepian

Eunike K
4 min readNov 13, 2019

--

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Beberapa hari lalu, sebuah DM masuk ke Inbox Instagram saya. Seorang perempuan muda, jika melihat dari usernamenya dia mungkin lahir di tahun 1999. Singkat cerita, dia membaca tulisan Medium saya yang ini, lalu menemukan Instagram saya.

Kali pertama, dia menanyakan apakah boleh bercerita. Saya bilang silakan saja, DM-DM seperti ini kerap masuk ke Inbox Instagram saya. Dan karena saya memang senang melakukan interaksi dengan followers baik itu jawaban seadanya atau hanya sekadar nge-like apa yang dipost, sebisa mungkin saya ladenin. Berselang 1–2 hari sejak terakhir saya merespon, dia masih belum membalas lagi, namun tak lama dia bercerita panjang lebar dengan kasus yang dihadapinya. Lagi-lagi kasus scam cinta online. Dia berhubungan online dengan seorang pria yang memalsukan identitasnya atau lebih tepatnya menggunakan identias orang lain. Lagi-lagi singkat cerita, sang perempuan percaya akan semua yang dikatakan pria beridentitas palsu ini sampai akan melakukan persiapan pernikahan walaupun mereka belum pernah bertemu.

Perempuan muda ini curhat ke saya dengan semua hal yang tidak bisa saya debat (karena saya hanya memposisikan diri sebagai pendegar, jika saya menghakimi juga tak ada gunanya). Saya pernah berada di posisi bucin hilang akal seperti itu, logika nggak jalan dan semua terasa benar. Perempuan menyalahkan Tuhan dan semuanya. Saya rasa hal ini wajar keluar dari dirinya. Siapa yang bisa berpikir jernih ketika cinta buta sudah melanda. Menurut saya, hanya kedewasaan yang akan membuat kita bisa memutuskan apakah kita akan larut dalam masalah atau berdiri tegap menghadapinya.

Perempuan muda ini berkata bahwa dia merasa tak ada gunanya lagi di dunia ini dan berniat bunuh diri. Saya paling tidak bisa menghadapi situasi seperti ini. Di satu sisi, bunuh diri buat kebanyakan awam adalah dosa menurut agama. Bunuh diri terkesan tak peduli dengan orang-orang yang dicintainya, tapi seorang teman pernah berkata kepada saya bahwa bunuh diri juga merupakan hak seseorang. Wah, saya tidak mau menyentuh ranah itu ya, karena nantinya akan terlalu serius. Intinya saya memberikan beberapa input dan opini tentang bunuh diri. Tanpa terkesan menghakimi, saya memberikannya kesempatan untuk mengobrol sesuka hati, setengah berharap dia akan menggagalkan niatan itu. Oh ya, sebelum dia bercerita ke saya, katanya dia sempat datang ke psikiater yang menyarankan sebaiknya dia bunuh diri saja (wwwhhaaat??!). Saya nggak ngerti jelas ini psikiater beneran yang ngomong gitu atau perempuan ini yang salah mengartikan.

Dari kisah di atas, ada hal menarik yang saya tangkap. Kita hidup di era penuh kesepian. Kita sibuk menyendiri dengan gadget kita, bahkan di tengah keramaian, berharap kita bisa menemukan nilai-nilai baru yang bisa meningkatkan kualitas hidup kita. Era penuh kesepian di mana apa yang kita ungkapkan di media sosial dan dunia nyata, berbeda dengan apa yang kita rasakan. Kita mungkin terlalu malu dan takut dicap lebay, dicap bucin, dicap drama dan sebagainya. Oh, the society. Karena era kesepian tersebut, kita lebih memilih ruang-ruang baru untuk mengungkapkan emosi dan masalah kita. Ruang-ruang tersebut yang mempertemukan perempuan ini dengan pria yang kurang jelas asal-usulnya, sesederhana karena ingin mencari jalan keluar dari rasa sepi tersebut.

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Ada yang mungkin mengungkapkan rasa kesepiannya dengan membuat akun anon di Twitter dan mulai menjelek-jelekan orang lain atau dengan ikut tubir di kampanye politik. Ada yang pelampiasan emosinya ditumpahkan dengan memberikan komentar body-shaming kepada orang yang bahkan tak dikenalnya, sekadar ingin merasa puas padahal diri sendiri yang punya masalah. Atau membuat second account untuk curhat kepada orang asing, berharap untuk didengar. Basically, we want to fullfil our basic needs: being heard and being notice. Era kesepian yang akhirnya diramaikan dengan membentuk identitas baru dan berkelana ke ruang-ruang baru untuk mencari kebahagiaan dan kebutuhan yang mungkin bertahan sesaat.

Internet dan media sosial membuat kita ‘merasa’ memiliki banyak teman, banyak yang perlu dipamerkan, banyak yang perlu di-acknowledge oleh orang lain. Artikel Inc.com yang berjudul “Here’s Why the Internet Has Made Us Lonelier Than Ever” menjelaskan 4 hal yang menyebabkan mengapa di tengah bisingnya percakapan di internet, sebetulnya malah kesepian yang dirasakan banyak orang saat ini. Akhirnya ketika kebutuhan untuk didengar tidak tersampaikan, ruang-ruang kesepian semakin banyak, stress melanda dan selanjutnya mungkin lahirlah yang disebut depresi.

Sesungguhnya saya tidak punya solusi pasti untuk hal ini. Saya pun punya kebutuhan untuk didengar. Ada seseorang yang menjadi ruang keluh kesah saya setiap kali saya ingin didengar, walaupun kadang saya menyampaikan keluh kesah itu dengan intro yang menyebalkan, tapi di tengah keribetan dan kompleksnya otak saya, masih ada yang mau sabar menghadapinya. Saya harap di era kesepian ini, setiap kita bisa setidaknya menyediakan ruang bagi orang lain untuk bercerita, tidak perlu menghakimi, cukup dengarkan, seperti yang mungkin saya lakukan kepada perempuan pada cerita di atas.

--

--

Eunike K

A lifelong learner by nature | Twitter: euniceapril/Instagram: @tarinaminusta