Overwork for “Better” Mental Health

Eunike K
2 min readApr 27, 2021

--

Photo by engin akyurt on Unsplash

You might see the title and be like: “ This person right here needs some serious medication”

Nope.

Kamu nggak salah baca kok. Justru overwork untuk saya adalah sebuah penyembuhan mental yang paling ampuh, di situ ada distraksi penuh yang membuat saya jauh lebih produktif dan melupakan banyak hal yang membuat sakit hati. Setidaknya di akhir hari kita tahu bahwa bekerja untuk perusahaan tidak selalu untuk menguntungkan perusahaan itu kok, serius ada untungnya untuk kita. Semua soal perspektif.

Untuk case saya, mungkin saya punya privilege karena kantor tempat saya bekerja sekarang memahami benar penghargaan untuk karyawan. Apalagi berjodoh dengan saya si workaholic akut. Ketimbang saya berkutat terus dengan sakit hati dan patah hati dalam percintaan, overwork di sini ya juga bukan memforsir kerja sampai gila dan jatuh sakit ya. Jujur sejak pandemic malah saya bersyukur walau kerjaan begitu banyak, meeting non-stop, saya masih sehat fisik dan mental. Justru kebanyakan yang membuat frustrasi bukan pekerjaan. Pekerjaan justru menjadi tempat saya untuk escape. Dengan pekerjaan bukannya saya menumpahkan rasa sakit ke rekan kerja atau tim, tapi karena itu distraksi, saya jauh lebih menghargai dan jauh lebih berempati kepada mereka yang sudah membantu saya.

Dalam pikiran terbodoh saya, walaupun saya nggak curhat ke mereka tentang masalah saya, tapi mereka orang-orang yang paling membantu saya. Bagaimana tidak, ada rekan kerja yang selalu ngajak meeting, ngasih task dadakan, urusan printilan yang kadang kalau dalam kondisi happy dan normal saya bisa ngomel-ngomel. Tapi di kondisi sakit hati percintaan begini, mereka justru adalah orang-orang terbaik yang menolong saya. Yang bisa membuat saya tenggelam dalam jajaran angka-angka untuk menyusun budget dan report content performance. Mereka yang bisa menyita pikiran saya untuk mikirin kenapa ini dan itu nggak works dan barengan cari solusi. Mereka yang kalau dalam pandangan normal terkesan maksa untuk kerjaan. Tapi tidak di kondisi kali ini.

Diganggu pagi-pagi pun di Slack, saya justru bersyukur. Bayangkan jika tidak ada morning call, maka saya akan membuang waktu pagi saya dengan menangis, nggak cuci muka dan malah keseharian saya menjadi nggak produktif dan nah, itu malah jadi akar buat saya jadi nggak berkembang, yang malah bisa menjurus ke performa kerja yang menurun.Kamu tahu kan kondisi orang patah hati yang tiba-tiba bisa nangis tanpa sebab, lalu menyalahkan dirinya terus menerus dan tenggelam dalam lagu-lagu sedih mendayu? Well, thanks to my co-worker, thanks to the hectic Ramadan campaign, thanks to team yang mungkin terkesan mengintervensi, tapi bikin saya mikir dan otak dipaksa kerja keras untuk nggak menyebrang ke area gelap di mana hati saya masih terluka di sana.

ps: it’s still so painful, i can’t eat, i always feel guilty. sorry for bothering you with this random thoughts.

--

--

Eunike K

A lifelong learner by nature | Twitter: euniceapril/Instagram: @tarinaminusta