Pengalaman Pertama Menyapa Rinjani via Jalur Aik Berik

Eunike K
18 min readDec 16, 2018

--

Jalur Aik Berik merupakan salah satu jalur yang masih merupakan bagian dari Geopark Gunung Rinjani. Pendakian yang biasa dikenal kebanyakan orang melalui Sembalun dan Senaru, hingga tulisan ini dibuat memang masih ditutup akibat gempa yang melanda Lombok sepanjang Juli hingga Agustus silam. 2 jalur komersil yang paling banyak menarik pengunjung tersebut belum memperlihatkan tanda-tanda akan dibuka dalam waktu dekat, apalagi kemungkinan dibukanya jalur menuju Puncak Rinjani di 3726 mdpl sangat kecil sekali karena banyaknya longsor. Kabar yang saya dapatkan dari pengelola TNGR di Lombok Tengah, ada kemungkinan jalur Sembalun akan dibuka pada pertengahan tahun 2019, namun mungkin hanya sampai ke Pelawangan Sembalun.

Terlepas dari jalur komersil Sembalun yang kabarnya bisa mendatangkan kurang lebih 1,000 pengunjung per hari, ternyata Geopark Gunung Rinjani memiliki jalur lainnya yang tidak kalah indah. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Jalur Senaru: biasanya digunakan para pendaki untuk jalur turun, namun jika ingin naik dari jalur ini ujung-ujungnya juga harus melewati Pelawangan Sembalun jika ingin sampai ke Puncak Rinjani. Jalur ini sudah resmi.
  2. Jalur Timbanuh atau jalur Selatan: menurut rekan yang pernah melewati jalur ini, tingkat kesulitannya cukup tinggi dan sangat menantang sampai merayap di tebing. Tidak ada jalur untuk menuju ke Puncak Rinjani dari sini, posisinya kalau tidak salah ada di belakang Gunung Barujari, si gunung kecil yang ada di Segara Anak. Hanya bisa sampai plawangan saja karena jalur menuju danau masih curam.
  3. Jalur Torean: jalur yang belum resmi ini kalau tidak salah juga digunakan beberapa pendaki untuk turun, saya kurang tahu tepatnya, hanya bermodalkan mencari informasi dari rekan dan internet. Jalur ini begitu indah dengan bukit-bukit tebing besar kehijauan, ada air terjun di ujung tebing, nuansanya seperti sedang di film The Lost World. Salah satu jalur indah yang memang tidak dilewati kebanyakan orang.
  4. Jalur Tete Batu: jalur yang kalau tidak salah juga baru dilewati Sam Kolder dan Bryn North 2 minggu lalu ini memiliki view yang tidak kalah cantik. Meskipun tidak sampai ke Puncak Rinjani tapi ketinggiannya yang berada di 3200 mdpl membuat sang pendaki berada di atas awan, Segara Anak juga terlihat dari kejauhan. Jalur ini belum resmi ya teman-teman.
  5. Jalur Aik Berik: nah, untuk jalur yang satu ini ada baiknya saya ceritakan saja ya. Kebetulan saya baru saja mendaki via jalur ini pada tanggal 8–9 Desember 2018 lalu.

Pagi itu saya bertolak dari Mataram tepatnya dari Jalan Kulintang 1, sebuah homestay bernama Dylan’s Guest House (tarif per malam Rp 170,000. Bisa order di Traveloka) mulai pukul 08:30 pagi. Tadinya saya dan teman saya Rendy berencana untuk pergi pukul 08:00, tapi ada halangan kompor rusak sehingga harus dicari dulu penggantinya. Kecewa karena tidak dapat pengganti, kami langsung beranjak ke pintu Geopark Rinjani yang ada di Lombok Tengah. Pada Oktober 2018 lalu, saya sempat berkunjung ke lokasi ini untuk melihat Air Terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu, baru saya ketahui ternyata ini juga menjadi Pintu Rimba (pintu pendakian) Jalur Aik Berik untuk melihat Segara Anak dan Puncak Rinjani.

Kami tiba di Gerbang Geopark Rinjani, Lombok Tengah sekitar pukul 10:00 kalau tidak salah. Di sana saya dan Rendy langsung mengunjungi pos di dekat tanjakan pintu masuk dan menanyakan di mana harus melapor untuk melakukan pendakian. Sayang sekali mungkin karena sistemnya baru dan mungkin kami juga kurang riset, intinya kami salah tanya. Saran buat teman-teman yang mau ke sini, saat sampai di pintu gerbang yang fotonya ada di bawah ini, kalian turun sedikit ke bawah, ke kantor pengelola TNGR.

Kalau kalian langsung ke pos yang ada di atas, nanti jadinya kaya kami, langsung ditembak oleh guide tanpa tahu prosedurnya seperti apa. Mana kami sempat mau sekalian sewa kompor dan jatuhnya mahal banget. Untungnya orang di pos berbaik hati (siapapun kamu kak, terima kasih ya sudah mengarahkan saya dan Rendy untuk ke kantor TNGR yang ada di bawah). Dia bilang coba ke kantor dulu untuk tanya-tanya soal tiket misalnya sudah daftar online. Oh ya, ingin memberitahukan bahwa teman-teman sebaiknya booking trip ini melalui aplikasi eRinjani. Terus terang app ini absurd banget sih, saya kurang mengerti faedahnya tuh mau untuk online payment berbagai service atau one stop information untuk segala sesuatu tentang Rinjani. Silakan booking tiket masuk melalui app ini, biaya Rp 5,000 per orang (plus biaya admin totalnya Rp 12,500) untuk WNI dan Rp 150,000 untuk WNA. Sayangnya sih biaya asuransi senilai Rp 10,000 dikenakan pembayarannya saat di kantor TNGR, kenapa nggak disekalianin aja gitu ya di app? (seriusan tolong dibenerin ya TNGR, kalian punya aset wisata bagus tapi teknologi dan sistemnya dibagusin, serius deh). Setelah itu info lain misalnya harus pakai guide atau tidak, tarif guide, tarif porter, bisa menyewa perlengkapan di mana, semua informasi yang harusnya dan saya harap ada di app itu, malah tidak ada. Sempat berpikir, ini serius nggak sih membangun pariwisatanya, eh tapi saya ingat-ingat lagi, oh iya saya tinggal di Indonesia, what do you expect, Ke? (sedih ya). Saya jadi terkesan banyak mau, padahal cuma berharap ada sistem yang lebih rapih. Oh ya untuk pembayaran tiket ini, kita diminta top up saldo dulu. Pembayarannya bisa via GO-PAY (anjay lah emang GO-PAY ini ya, mantul!), transfer Bank Mandiri dan e-Cash Mandiri. Saya yakin pasti ada aja yang cranky dengan sistem seperti ini. Mungkin bisa dipermudah lagi dan sosialisasinya yang lebih kencang lagi (halo pengelola TNGR, saya mau loh jadi volunteer untuk konsultan digital kalian, serius gemes akutu ngelihatnya).

Saya melakukan pemesanan ini kurang lebih 2 minggu sebelum pendakian, kalau lihat di sistem, hari itu hanya saya dan Rendy yang melakukan pendakian. Wow! Kalau ingat jalur Sembalun bisa 1,000 orang per hari, ini 2 orang per hari di Aik Berik. Efek gempa bertubi-tubi di Agustus 2018 lalu memang masih menyisakan luka dan trauma, walaupun seriusan ya, saya ke Lombok Oktober dan awal Desember lalu, Lombok sudah benar-benar bangkit (makanya hayuk lah ke Lombok).

Oh ya, lanjut ceritanya ya. Kami akhirnya turun ke kantor TNGR untuk mendapatkan info lebih lanjut (ini aja udah makan waktu banget dan bikin waktu pendakian makin berkurang karena kita agak ngejar di hari yang sama harus sampai di Pos 4). Di kantor TNGR, kami dibantu banget oleh pengelola. Saya lupa namanya siapa, kalau tidak salah Pak Andra. Gayanya pendaki banget dengan celana selutut, topi ranger dan sepatu gunungnya. Dia mengkomunikasikan bahwa kami harus menggunakan guide dan saya tidak menolak, ogah banget kesasar dan emang untung pakai guide, jadi pas saya udah capek mampus, si bapak guide dengan senang hati bantuin bawa tas, ya biar cepat juga jalannya (pas hari ke-2). Biaya guide senilai Rp 200,000 per hari dan saya tidak mengeluh meskipun harus merogoh kocek senilai Rp 400,000 untuk 2 hari. Tidak hanya itu, kami juga dikenakan biaya Rp 60,000 per orang untuk naik ojek dari kantor TNGR ke Pintu Rimba yang jaraknya 5 km. Terus terang saya merasa sah-sah saja mengeluarkan uang dengan jumlah tersebut, tidak ada rasa pemerasan atau tipu-tipu gimana, yang saya bete cuma ya tidak ada sosialisasi tersebut baik di app, atau di media atau bahkan di websitenya TNGR. Sayang banget kan ya. Mana yang bahas secara proper juga belum ada, jadi saya dan Rendy memang modal nekat aja.

Urusan administrasi berjalan lancar walaupun harus pakai foto QR Code yang ada di pemesanan app eRinjani, pakai nggak ada sinyal segala tapi intinya semua orang di kantor TNGR sangat sangat helpful. Di hari yang sama untungnya ada Pak Jumaah yang standby untuk menjadi guide kami, itu juga nyarinya dadakan. Soal kompor, kami pun mendapatkan pinjaman secara cuma-cuma dari Pak Andra (thank god!) dan dari situ kami mulai perjalanan menuju Pintu Rimba menggunakan ojek.

Urusan pertama selesai, jadi kalau teman-teman ke sini, saya sarankan punya deh kenalan di Lombok yang minimal bisa ngobrol pakai Bahasa Sasak, jadi lebih apa ya, lebih dekat aja dan nggak terkesan kita orang asing. Untungnya saya punya teman ya si Rendy ini memang orang asli lokal yang tinggal di Lombok Timur dan udah sering naik turun Rinjani, jadi ya ngerasa lebih aman deh. Sedikit mundur, kami tidak membawa terlalu banyak perlengkapan aneh. Rendy membawa tenda dan matras, barang paling berat untuk bersama, yang lainnya bawa barang masing-masing. Saya juga membawa carrier sendiri berisikan sleeping bag, jaket dan perlengkapan pribadi serta makanan. Untuk makanan, kami juga sangat nggak rempong. Yang kami bawa ada cokelat seperti Silver Queen dan Snickers (ini saya sih, hahaha, karena malas makan karbo), ada Pop Mie sekitar 5 cup, Roti Tawar, Susu Kental Manis, Roti bantal, Chips Ahoy, Gorengan dan Nasi Kucing yang dibeli di kedai kopi dekat pasar, kopi dan gula, yup itu aja, lagian cuma semalam juga, cukup lah buat bertiga. Untuk air, kita cuma bawa 1 botol Aqua yang 1 liter sama 2 botol yang kecil, pasti cukup banget karena saat riset diketahui ini jalur dengan sumber air terbanyak (sekitar 5–6 sampai ke Pelawangan), jadi tidak perlu repot bawa banyak botol. Lagipula jalurnya adem banget, musim hujan pula, akan sangat jarang berkeringat dan haus.

Baik, kita mulai perjalanan ini.

Waktu yang dibutuhkan dari Pintu Rimba sampai Pos 1 kurang lebih sekitar 1,5 jam. Sebetulnya saya sendiri kurang menghitung waktu. Saya membaca dari banyak pengalaman orang, sebaiknya nikmati saja jalurnya ketimbang bertanya “Ini nyampenya kapan?” karena seriusan bakalan lebih capek. Ya paling saya tanya saja estimasinya kepada Pak Jumaah, guide kami saat itu. Sisanya saya biarkan saja kaki ini melangkah. Saya merasa beruntung menggunakan baju full yang tertutup untuk kaki dan tangan karena jalur hutan ini memang penuh dengan lintah, belum lagi beberapa tanaman berduri. Dengan menggunakan atasan dan bawahan lengan panjang serta sepatu dan kaos kaki ketat, saya meminimalisir kena binatang atau tanaman yang aneh-aneh.

Sebagai baju atasan, setelah lagi-lagi riset, saya putuskan menggunakan ultra heattech dari Uniqlo baik untuk atasan atau bawahan. Atasannya saya double lagi dengan baju berbahan jersey untuk lagi biar kalau basah nggak nyerap kaya katun dan jadi bau, celana juga saya pakai luaran bahan cargo dan layer 1 si legging heattech. Walaupun pemula, saya merasa saya telah memilih outfit yang tepat untuk pendakian di musim hujan dan yang hutan banget seperti ini. Dinginnya baju yang basah tidak langsung diserap kulit, tapi diubah jadi panas. Ini bukan promosi ya, tapi ini baju emang hangat banget, harga nggak bohong, anggap aja investasi ya (per piecenya di Rp 300,000, waktu itu lagi promo dari Rp 400,000).

Agak sialnya karena pakai sepatu, saat menyebrangi salah satu sungai, kaki saya terendam seluruhnya dengan air. Duh, itu yang namanya nggak nyaman benar-benar terasa. Menginjak kaos kaki basah dan terendam itu sangat tidak enak, apalagi perjalanan masih jauh. Yang bisa saya lakukan hanya terus berjalan, lalu saat di Pos 1 saya buka sepatu serta kaos kaki. Kaos kaki saya peras, kaki sudah keriput dan pucat seperti kaki mayat karena menahan dingin, saya sudah deg-degan takut sakit atau nggak enak badan. Untungnya mungkin saya memang dikasih jalan untuk datang ke sini sehingga tidak ada halangan yang aneh-aneh.

Kalau kalian tanya, apa sih bagian paling menyiksa misalnya seperti Bukit Penyesalan di Sembalun atau Tanjakan Cinta yang ada di pendakian Semeru, well, Aik Berik punya Tanjakan Pakis. Indah sih memang, pendakian kanan kiri pakis dengan jalur yang aman, bukan kanan kiri tebing jurang, tapi mendakinya itu untuk pemula, ya saya hanya mau bilang satu kata “Wuedannnn rek!”. Tapi nggak boleh ngeluh soalnya bakal tambah capek, seriusan, dibawa ketawa aja. Saya yang biasanya jutek dan paling betean, mendadak jadi yang paling cerita di antara kami bertiga. Entah karena menutupi kelelahan atau memang terlalu excited.

Di tengah jalan, Rendy harus rela tersengat lebah yang membuat betis kirinya bengkak dan bagian bawah kakinya gatal, untungnya dia masih bisa jalan dengan baik bahkan lebih cepat dari saya. Kami melalui perjalanan dari Pos 1 ke Pos 3 dalam waktu sekitar 3 jam karena kami skip Pos 2 dan tidak mengambil air, kami benar-benar mengejar Pos 4 untuk bermalam. Sayangnya memang tidak kesampaian karena cuaca tidak bersahabat.

Jalur selepas pertigaan Plawangan dan Kondo adalah jalur mengerikan pertama untuk saya yang adalah pemula. Itu jalan setapak yang basah diguyur gerimis dan saya cemas karena sepatu agak penuh tanah, kepeleset dikit udah deh, say goodbye to everybody karena sebelah sudah jurang yang tertutup kabut (beli foldable trekking pole juga mggak guna soalnya tiba-tiba bagian bawahnya copot mulu…daripada bahaya ya mending nggak dipake). Benar-benar saya nggak sempat mengambil banyak foto karena fokus ke Pos 3 untuk duduk dan melewati si jalur ngeri ini (ngeri buat pemula ya, saya nggak tahu buat yang udah hebat naik gunung). Selepas jalur tersebut, atap Pos 3 terlihat dan memang rezeki ya, ketika kami duduk di sana, hujan turun dengan derasnya. Bunyi hujan membuat pos beratapkan seng itu menjadi ribut. Pos itu paling hanya membuat 6 orang dewasa untuk duduk bersama, beruntung sekali hanya kami bertiga yang naik hari itu. Bayangkan saja hujan deras dan harus berbagi spot dengan mungkin 7–8 orang lainnya, mungkin bisa rusak mood saya dan ending-endingnya bete. Saya selalu merasa bersyukur akan perjalanan hari itu.

Kami sempat diskusi panjang tentang mau lanjut ke Pos 4 atau tidak supaya besoknya menuju ke Pelawangan akan semakin dekat. Tapi cuaca makin buruk dan saya takut untuk berjalan lebih jauh di kala gelap (dan saat saya tahu pagi harinya bahwa jalur ke sana seseram itu kalau gelap dan hujan, saya sangat bersyukur). Maka kami memutuskan mendirikan kemah di atas pos. Kami hanya membawa 1 senter besar, saya membawa headlamp yang udah beli mahal-mahal tapi nggak taunya nggak terang-terang amat, malah lebih terang senter dari iPhone. Bapak Jumaah mulai membangun api unggun yang apinya sulit untuk jadi besar karena kayunya kebanyakan basah, belum lagi asapnya malah mengarah ke dalam tenda dan bikin keselek, jadinya ya sudah kami semua meringkuk saja sekitar pukul 20:00 di dalam tenda. Saya sibuk merapikan tenda dan mengambil carrier untuk dijadikan bantal kepala, menata sleeping bag. Sementara Pak Jumaah masih sibuk ngopi dan makan Pop Mie bersama Rendy sambil ngobrol dalam bahasa Sasak yang tidak saya mengerti. Selepasnya saya mulai bersiap tidur, Rendy masih sibuk dengan Salonpas dan Neo Rheumacyl untuk memijat luka bengkaknya karena disengat lebah. Kami mulai terlelap tidur sekitar pukul 10:00.

Ini bukan pengalaman pertama saya camping, tapi ini yang bikin nggak tenang. Maklum saja camping pertama itu di Holbung, Toba, bukan hutan lepas begini. Siapa tahu ada babi hutan, bagaimana kalau tiba-tiba gempa, bunyi angin yang kencang dan mengerikan, saya hanya bisa menutup telinga dengan earphone sambil mendengarkan lagu dan mengedit foto, berusaha mencari distraksi. Tidur semacam nggak tenang karena si Rendy menggigil malamnya (udah tahu naik gunung malah bawa sweater tipis dan SB dia basah pula, alhasil dipinjemin selimut sama Pak Jumaah dan jaket saya direlakan daripada dia kedinginan, saya toh masih punya SB).

Tadinya kami sepakat akan bangun pukul 4 pagi untuk memulai perjalanan, tapi dasar kebo semua, akhirnya kami baru bangun pukul 6 pagi dan berangkat sekitar 06:30 menuju Pos 4. Yang namanya udara pagi di gunung itu bikin happy ya. Sejuk, dingin, menggigil tapi tenang dan sendu.

Perjalan menuju Pos 4 adalah tantangan berikutnya. Saya selalu bertanya sama Pak Jumaah “Pak, yang jalurnya begini berakhir kapan, saya kesal banget” Tuh kan, sudah mulai ngeluh. Bagaimana tidak, ada satu tanjakan yang saya sampai harus dibantu menggunakan tangan oleh Pak Jumaah untuk naik, padahal dari hari sebelumnya saya bisa melakukan semuanya sendiri. Lagi-lagi di gunung itu memang ego diuji banget ya, harus mudah meminta tolong, berkata maaf dan terima kasih. Dari tanjakan itu, Pak Jumaah menawarkan untuk membawa carrier gue demi mempercepat perjalanan dan biar gue gampang bergerak. Di situ mau nangis rasanya bukan karena capek dan merasa nggak bisa, tapi karena ada yang menolong.

Kami berhenti di beberapa sumber air untuk mengisi botol. Saya lagi-lagi mendadak cengeng merasakan langsung air segar di gunung. Murni banget, tidak ada rasa pabrik atau rasa botol, murni, enak, mau diminum terus, rasanya beda banget! Rasa seperti ini yang bikin rindu untuk kembali lagi ke gunung apalagi jalur ini belum komersil dan belum banyak tersentuh tangan manusia (sangat bersih!)

Nah, dari foto di atas, jalur terus menanjak hingga Pelawangan Aik Berik. Kumpulan cemara yang menjadi penanda pelawangan sudah terlihat dari tempat saya berdiri ini, terasa sangat dekat tapi tidak sampai-sampai juga. Tanjakannya bikin semangat, di kanan kiri banyak batu yang kata Pak Jumaah terguling pada saat gempa kemarin, saya jadi kebayang kalau ada yang mendaki saat gempa Juli-Agustus lalu, itu kumpulan batu dari atas seramnya seperti apa ya saat jatuh ke bawah. Mendaki dan terus mendaki sesekali berhenti, jalurnya cukup mudah untuk menuju Pelawangan, tidak akan tergelincir, hanya saja mendakinya tiada henti, ya namanya juga jalur gunung.

Semakin dekat ke tulisan Pelawangan Aik Berik, semakin bersemangat pastinya. Pak Jumaah menyerukan “Alhamdullilah” sementara saya terus menanjak dan di sana saya cuma bisa menahan tangis yang nggak bisa keluar, saya terlalu senang.

Sejak Oktober 2018, sepulangnya saya dari perjalanan ke-2 saya ke Lombok tahun ini, saya entah mengapa semacam dapat panggilan terus dari tempat ini. Saya jadi sering lihat explore tentang Jalur Torean, meskipun belum pernah mendaki tapi saya tahu jalur-jalur selain Sembalun bermodalkan internet, saya selalu menangis melihat diri saya terkurung di kamar dan orang lain bisa naik ke puncak tertinggi di Lombok itu, bukan, ini bukan rasa iri tapi ada sesuatu yang dipendam yang ingin dilepaskan. Waktu saya tahu salah seorang selebgram Lombok bernama Zilmi Zola naik selepas Jalur Aik Berik diresmikan, bukan main hebatnya dorongan itu berkecamuk dalam hati dan pikiran saya. Ada yang terus mendorong dan bilang “Udah sana naik!” tapi ada juga yang bilang “Ya, ampun anak kota kaya kamu mana bisa naik ke sana, tuh ke Papandayan, Gede atau Merbabu dulu dan Prau…atau Ijen dulu gih” itu yang terus terngiang di kepala saya. Saat sampai di ketinggian 2,508 mdpl ini saya cuma bisa menutup mulut saya karena terus menganga melihat Segara Anak, Barujari, Puncak Rinjani, saya masih nggak percaya kalau 10 jam lalu saya adalah saya yang saya pikir nggak akan mampu pergi sejauh ini. Ini bukan lagi soal pembuktian, penaklukan, kesombongan atau sekadar naik untuk foto-foto. Saya merasa saya nggak mau turun karena takut rindu untuk ke Rinjani lagi, takut banget balik ke kota tapi hatinya tertinggal di Pelawangan Aik Berik dan benar hal itu kejadian sampai sekarang (akutu tiap malam lihatin gallery foto sambil nangis kangen Aik Berik, mana suasana lagi hujan begini).

Semua lelah terbayarkan, semua pegal jadi tidak berarti. Saya cuma bisa diam sampai-sampai Rendy mengira saya bete dan tidak bersemangat atau tidak tertarik pada apa yang saya lihat. Tapi ya begitu, kalau sudah terlalu kagum, saya bisa sampai bingung harus ngapain (bahkan saat mengetik ini di Starbucks Paskal Bandung, saya mau nggak mau harus menyembunyikan air mata dan menahan napas biar nggak mewek). Saya nggak tahu ini namanya apa. Lebih dari rasa jatuh cinta, lebih dari rasa bahagia, ya mungkin pengalaman orang beda-beda ya, paling tidak itu yang saya rasakan.

Kami berfoto di Pelawangan Aik Berik dan beristirahat selama 1 jam. Rendy sibuk ke sana kemari mengambil video, katanya buat bikin vlog yang sekarang sudah diposting di akun Instagram-nya. Sementara saya cuma berbaring di rerumputan menikmati pemandangan di depan saya, Segara Anak dan langit yang cerah. Andaikan waktu berhenti ya.

Kami pun kembali turun tepat pukul 12:00 karena perjalanan masih cukup jauh. Nah, perjalanan turun ternyata lebih menantang dibandingkan saat menanjak naik. Di situ saya sadar bahwa saya harus belajar banyak bagaimana cara turun yang benar dan baik. Saya penakut, itu saya akui, takut tergelincir, selalu merasa sepatu licin penuh tanah. Karena teknik turun saya salah, ya paha saya sampai pegal-pegal. Sudah diberikan tips kalau turun agak miring, pakai telapak kaki atau tumit jangan ujung kaki, kalau turun jangan terlalu ke depan badannya karena lebih gampang jatuh, ini semua si Rendy yang bilangin dan saya tetap bodo amat mencari jalan terbaik untuk saya turun. Bahkan di beberapa kesempatan saya turun ngegelosor pakai pantat saking takutnya, ampe dibilang kaya orang cacat turun gunung. Di situ seriusan pengen nangis parah, udah tahu baru pertama kali turun gunung terus digituin, tapi nggak patah semangat. Saya mungkin belum berani mencoba, tapi saya yang tahu diri saya dan titik aman saya. Tidak apa tangan kotor dan celana kotor yang penting saya turun dengan aman di jalur yang sebelahnya sudah jurang. Saya bukan orang yang hebat turun gunungnya sudah lebih dari 5–10x naik turun Rinjani, anggap saja ini pengalaman pertama dan saya akan terus belajar.

Di perjalanan turun, memang saya agak lambat. Walaupun tidak melelahkan ketimbang menanjak dan mendaki, tapi turun itu effortnya adalah harus ekstra hati-hati jika tidak mau tergelincir. Ujian sebenar-benarnya dimulai justru saat hari sudah gelap. Saya tidak akan pernah melupakan perjalanan pulang kali itu. Langit gelap, geledek besar dan hujan turun. Saya mengenakan jas hujan dan airnya tetap masuk dari pergelangan tangan karena memang deras banget. Lampu dari headlamp saya membuat jalanan seperti berkabut. Bernafas sedikit, ada uap keluar dari mulut. Di tengah jalan pun saya memberikan headlamp pada Pak Jumaah yang ada di belakang saya dan saya menggunakan senter iPhone yang sudah saya taruh di dalam waterproof plastic holder. Bagi pemula, ini sih combo banget buat saya. Jalur basah licin, bercampur batu dan tanah, menurun licin, alhasil lagi-lagi harus meluncur dengan pantat karena takut tergelincir, sesekali Pak Jumaah membantu saya turun.

Di part itu saya berpikir, perasaan sewaktu mendaki dan turun sebelum gelap dan hujan, cobaannya nggak kaya begini. Ini justru pas jalur udah lumayan (kalo kering ya) dan sudah bukan jalur gunung, kenapa malah ini yang paling berat. Saya semacam dikasih all the challenges dan hal sulit malah pas di akhir-akhir, mau ngeluh susah, mau marah susah, jadi ya diam saja.

Jalur terakhir kami melewati kebon pisang yang jalan tengahnya bolong-bolong dan tidak beraturan. Saya terus terang tidak mau mengarahkan senter ke banyak arah, aduh itu gedebok pisang gede-gede banget udah kaya orang tahu nggak sih, setiap kali melihat Rendy yang berjalan lebih dulu di depan membawa senter, saya selalu bertanya dalam hati, ini Pintu Rimba masih jauh nggak sih, tapi emoh bertanya.

Akhirnya ketika teriakan “Oi!” dibalas di ujung, saya tahu itu para tukang ojek yang menjemput kami untuk kembali ke pintu utama Geopark Rinjani Lombok Tengah. Kami beristirahat dan menghangatkan diri sebelum naik ojek dengan jalur yang bikin lompat-lompat di motor. Sesekali saya harus turun dari motor agar memudahkan yang membawa motor untuk melewati jalur berlobang. Harus turun ketika kaki sudah terbalut kaos kaki dingin yang terendam air, pangkal paha bawah rasanya mau patah tapi masih kuat jalan walaupun sudah seperti orang mabok.

Saat melihat jajaran warung dengan lampu di area pintu Geopark, saya hanya bisa mengucap kata “Akhirnya” dalam hati. Tak terasa baru sampai bawah, rindu itu langsung hadir. Kami disuguhkan kopi dan teh hangat ketika singgah di warung pos Pak Andra (ini seriusan saya lupa namanya ya). Ngobrol sebentar, melakukan pembayaran lalu saya dan Rendy kembali menuju Mataram dengan motor, tanpa jaket, cuma pakai jas hujan, ditemani dinginnya Lombok Tengah malam itu.

Panjang ya ceritanya.

Capek nggak bacanya? Semoga nggak ya.

Konklusi dari saya:
1. Dear pengelola TNGR, coba deh sistem informasi kalian diperbaiki, saya yakin ini jalur yang begitu cantik dan bisa menarik banyak wisatawan, tapi berikan kejelasan pada para wisatawan. Nggak semuanya sabar lho dan banyakan yang cranky.

2. Pastikan jauh dari calo-calo nggak jelas yang menawarkan jasa dengan harga gila-gilaan. Ini memang masih sepi, bagaimana nanti kalau sudah ramai

3. Ini jalur bersih banget parah! Sampai di pos atas pun bersih banget. Saya belajar untuk membakar sampah hingga benar-benar habis, supaya tak perlu dibawa turun tapi tidak mengotori area pos dan hutan juga. Bakar sampahnya ditungguin banget. Kalau ada sampah lain, jangan dilihat aja tapi ikut dibakar, jangan egois kaya “sampah lo sampah lo, sampah gue sampah gue”, harus peduli biar Aik Berik terus seindah ini. Saya akan nangis banget kalau misalnya saya cerita di sini, lalu nanti banyak orang naik dan jadi kotor ketika mungkin saya ke sana lagi barang 5 tahun ke depan.

4. Nggak semua keindahan dapat dinikmati dengan kamera sebagai mata kita. Saya terus terang tidak mengambil banyak gambar profesional dengan mirrorless cam saya. Saya lebih banyak merekamnya di pikiran saya dan sesekali mengambil moment dengan smartphone. Ada hal-hal dalam perjalanan ini yang tidak akan pernah bisa digantikan dengan kamera. Banyak-banyak lah melihat sekitar. Rasakan kabut yang turun, lihatlah bukit yang mencuat dari balik awan, dengarkan suara angin yang kencang itu, lautan awan nun jauh di bawah berkumpul didorong angin.

ps: saya berencana naik via Sembalun kalau memang tengah tahun 2019 akan dibuka, kita barengan ya:) boleh kontak-kontak saya di Instagram @tarinaminusta

Salam dari kami,

Rendy, Pak Jumaah dan Eunike

Simak video yang saya buat untuk menggambarkan teduhnya jalur Aik Berik:

--

--

Eunike K
Eunike K

Written by Eunike K

A lifelong learner by nature | Twitter: euniceapril/Instagram: @tarinaminusta

Responses (2)